Terlalu banyak dalam kehidupan ini yang gak kupahami ketimbang yang bisa kumengerti. Salah satunya yang gak bisa kumengerti saat terima undangan nikah di atas meja yang tulisannya.." Putra Drs. Sontoloyo yang bernama Putra Saya, S.Si akan bersanding dengan Nona Bahenol, SP. Diam-diam saya mikir apa mungkin ada hubungannya antara gelar akademik dengan honeymoon ya..??? Belum lagi waktu terima undangan buka puasa kemarin dari Keluarga Besar Prof. Dr. Fulan, MM. Apa perlunya embel-embel gelar di setiap undangan yang mengatasnamakan kita yang gak ada koneknya sama urusan akademik ato ilmiah?
Wallahualam. Itu sepenuhnya hak mereka. Sah-sah saja, juga gak melanggar hukum kok! Kalo nanti ada yang orang yang resmi jadi profesor sekaligus dokter spesialis kulit kelamin; biarkan saja dia nyebar undangan : Mohon doa restu ulang tahun kami yang ke-50, kami Prof.Dr.dr Bejo, SpKK mengundang saudara saudari untuk rujakan bersama. Pasti kami bakalan datang berbondong-bondong ke acara beliau. Bukan apa-apa, kami hanya ingin menyaksikan bagaimana sih cara profesor sekaligus dokter kulit kelamin makan rujak?
Saya juga tertarik pada Keluarga Haji Syukur bin Makmur. Anak pertamanya jadi dokterandes, anak kedua jadi dokter, anak ketiga jadi insinyur. Sungguh bangga Pak Haji punya anak sukses semua. Pas lebaran kemarin mereka semua ngumpul, bawa mobil mewahnya masing-maisng. Mereka jabatannya tinggi-tinggi, isterinya cantik-cantik, uangnya banyak. Subhanallah..
Nah yang menarik pas subuh, Bu Hajah Syukur bangunin anak-anaknya, " Ayooo Dokterandes Saleh, Dokter Hasan, Insinyur Husen, bangun-bangun.... sudah subuh..!!
Duh, pagi yang indah. "Insinyur Husen tadi sudah nimba air ya? Kok enak banget mandi gebyar gebyur! "Hayoo Dokterandes Saleh, jangan lama-lama di WC, giliran!" Dokter Hasan mandinya jangan lama-lama lho ya!"
Hehehe... kedengaran tidak ilmiah kan? Tapi sekali lagi itu hak mereka. Bangsa kita sudah sedemikian tidak ilmiahnya, bisa-bisanya gelar akademis dikaitkan dengan pekerjaan nimba aer, buang hajat, shalat, bangun tidur dan mandi. Sekali lagi itu hak setiap orang kalo mo ngaitkan gelar dengan undangan nikahan, sunatan, hajatan, dan lain-lain.
Ada cerita miris. Saat ngembaliin kunci loker di salah satu perpustakaan di kota besar negeri ini, ngeliat petugas penjaga loker lagi gak sibuk iseng-iseng saya nanya sama dia. "Mas, sudah lama kerja sini?"Jawabnya, " iya, sekitar tiga setengah taon." Dengerin jawabannya saya makin iseng. " Tiga setengah taon jagain kunci? Mas, daftar kerja gini syaratnya lulusan apa ya?" Ia tersenyum dan pedenya ngomong, "Ya, harus lulusan S1." Saya bengong sejenak. Pikiran saya mulai menari-nari sambil mikir, sudah sedemikian makmurkah negeri ini sampe-sampe petugas jaga loker butuh kuliah 4 tahun? Sudah tuntaskah urusan-urusan besar bangsa ini sehingga otak yang tiap hari terasah ilmu selama belasan taon pada akhirnya hanya dimanfaatin buat jaga kunci loker? Padahal gak perlu sekolah tinggi buat lakuin pekerjaan itu. Bukannya ngeremehin petugas loker tapi kalo di kasi tau caranya nukar kunci dengan KTP, siapapun bisa ngelakuinnya. Yang sarjana silakan nyari kerjaan yang pantas untuk seorang sarjana. Tapi gak mungkin saya katakan itu padanya, takut nyinggung.
Gelar gak mewakili kualitas individu
Apa gelar mewakili kualitas individu yang menyandangnya? Apa embel-embel sarjana memang begitu signifikan daalm mempengaruhi nasib seseorang? Gelar, bagi sebagian besar masyarakat kita masih dianggap sebagai indikator kehormatan seseorang. Semakin panjang gelar seseorang, maka orang tersebut dianggap sebagai orang yang hebat dalam bidang yang sesuai dengan gelar yang disandangnya.Karena dianggap sebagai pengungkit strata kehidupan bermasayarakat, berbagai macam cara yang ditempuh orang untuk sekedar dapetin gelar. Normalnya sih gelar itu diperoleh lewat kuliah di sebuah lembaga pendidikan formal, tapi sekarang ini gelar dapat didapet dengan cara yang lebih mudah yaitu cukup dengan membayarkan sejumlah uang tertentu, ikut serta dalam proses wisuda-wisudaan, foto selfie pake toga dan akhirnya gelar sudah bisa dipake depan nama.
Lalu kalo seseorang punya bejibun gelar kayak Prof.Dr,Ir.Bejo,MA, Mpd, MBA, MM, MH,HC bisa ga kita bilangin dia mahaguru yang tau segala-galanya. Silakan jawab dengan hati nurani kita masing-masing. Sekarang ini sulit sekali nentuin kualitas seseorang dari gelarnya. Karena nempelin gelar depan nama itu udah sedemikian mudahnya.
Saya lebih menghargai seorang motivator sukses yang naro gelar di belakang namanya dengan SDTTTBS (Sekolah Dasar Tidak Tamat Tapi Bisa Sukses) ato seorang penulis dan motivator yang bergelar WTS (Writer, Trainer, Speaker) dan pengusaha sukses yang bangga dengan gelar Ph.G (Pengusaha Gila), karena mereka dengan sederhana nempelin gelar di belakang nama mereka setelah terbukti sukses di bidangnya masing-masing.
0 comments:
Post a Comment